Raja Edward III |
Selama pemerintahan Raja Edward III (1327-1377), gereja di Inggris mengalami kemunduran karena campur tangan manusia mengalahkan kuasa Roh Kudus. Cahaya Injil Kristus yang sejati dengan jelas telah dipadamkan oleh kegelapan doktrin manusia, upacara yang membebani, dan berbagai ritual. Pada saat yang sama, para pengikut Wyclijfe, para pembaru yang disebut Lollard, telah menjadi sangat banyak sehingga para imam merasa terganggu; dan meskipun para imam menganiaya mereka dengan cara yang licik, para imam itu tidak berkuasa untuk membunuh mereka.
Setelah perebutan kekuasaan di takhta Inggris oleh Henry IV pada 1399, kaum Lollard mengalami penganiayaan yang makin meningkat. Segera sesudah itu, para pejabat gereja membujuk raja untuk memperkenalkan rancangan undang-undang ke parlemen untuk mengutuk Lollard yang masih bersikeras pada keyakinan mereka yang baru dan menyerahkan mereka kepada penguasa sekuler untuk dibakar sebagai bidat. Meskipun mendapat perlawanan yang kuat dari Lollard di DPR, undang-undang De haeretico comburendo (Tentang Pembakaran Bidat) dikeluarkan Parle men pada 1401, dan segera dijalankan. Undang-undang yang disahkan untuk membakar orang-orang karena keyakinan keagamaan mereka dijalankan untuk pertama kalinya di Inggris.
Martir pertama yang mati di bawah undang-undang baru ini adalah imam bernama William Santree [atau Santee] - ia dibakar di “Smithfield.
Segera setelah itu, Uskup Agung Canterbury, Thomas Arundel, dan uskup-uskupnya mulai bergerak menentang Sir John Oldcastle (Lord Cobham), pengikut Wycliffe yang popular dan ternan pribadi Henry IV, yang mereka tuduh mengutus orang-orang lain yang tidak diberi hak oleh para uskup untuk berkhotbah dan mendukung ajaran sesat menentang sakramen gereja, patung, perjalanan ziarah, dan paus. Namun, sebelum bisa menuduh orang itu, mereka tahu mereka harus mendapatkan bantuan raja. Raja mendengarkan mereka dengan sopan kemudian menyuruh mereka berurusan dengan Sir John dengan hormat dan memulihkan posisinya di gereja melalui kelembutan. Ia juga menawarkan untuk perdebatan dengan Sir John demi mereka. Segera setelah itu, ia mengutus orang kepada Sir John dan mengingatkannya untuk kembali ke induk gereja kudus, dan seperti anak taat, mengakui bahwa ia pantas mendapat hukuman karena ia telah bersalah.
Sir John menjawab: Raja yang paling layak, engkau tahu saya selalu siap dan bersedia taat karena saya tahu engkau adalah raja Kristen dan hamba Allah yang diurapi serta engkau memanggul pedang untuk menghukum orang yang berbuat jahat dan melindungi orang yang benar. Di sebe1ah Allah yang kekal, saya berutang ketaatan kepadamu, dan saya siap, seperti yang sudah-sudah agar menyerahkan semua yang saya miliki baik uang maupun harta benda untuk melakukan hal yang engkau perintahkan kepada saya dalam Tuhan. Namun, mengenai pemimpin Gereja Roma dan pejabat gerejanya, saya tidak berutang kehadiran maupun pelayanan kepada mereka karena saya tahu me1alui Alkitab bahwa ia adalah antikris, anak kebinasaan, musuh Allah seeara terbuka dan musuh yang berdiri di tempat yang kudus yang dibicarakan Daniel.
Ketika raja mendengar ini, ia tidak memberi jawaban dan meninggalkan ruangan.
Uskup Agung sekali lagi mendekati raja berkenaan dengan Sir John, lalu ia diberi kuasa untuk menuduhnya, memeriksanya, dan menghukumnya sesuai dengan keputusan mereka yang jahat: Hukum Gereja yang Kudus. Namun, ketika Sir John tidak muncul di depan mereka sesuai permintaan mereka, Uskup Agung mengutuknya karena penolakannya yang merendahkan terhadap otoritas. Kemudian ketika diberi tahu bahwa Sir John mengejeknya, menghina segala sesuatu yang ia kerjakan; mempertahankan pendapatnya yang sama; memandang kekuasaan gereja, keagungan uskup dan ordo keimaman dengan muak; ia marah secara terbuka dan mengucilkannya.
Sebagai balasan, Sir John Oldcastle menulis pengakuan iman secara pribadi dan membawanya kepada temannya, Henry IV, yang ia harapkan akan menerimanya dengan gembira. Namun sebaliknya, raja menolaknya dan memerintahkan agar hal itu diberikan kepada Uskup Agung dan sidang uskup yang akan menghakiminya. Ketika Sir John tampil di depan sidang dan di hadapan raja, ia meminta agar seratus ksatria dikumpulkan untuk mendengarkan kasusnya dan menilai ia sebab ia tahu bahwa mereka akan membersihkannya dari semua kebidatan. Untuk membersihkan dirinya sendiri, ia bahkan menawarkan untuk berperang sampai mati melawan orang yang tidak setuju dengan imannya, sesuai dengan Hukum Kekuasaan. Akhirnya, ia dengan lembut menyatakan bahwa ia tidak akan menolak koreksi apa pun yang sesuai dengan firm an Allah, tetapi akan menaatinya dengan lemah lembut. Ketika ia selesai, raja membawanya ke ruangan pribadinya, dan saat itulah Sir John pertama kali memberi tahu raja bahwa ia telah mcmahon kepada Paus kemudian menunjukkan kepadanya hal yang telah ia tulis. Raja dengan marah memerintahkan ia untuk menunggu keputusan Paus, dan jika ia harus menyerah kepada Uskup Agung, Sir John hams melakukannya, dan ia jangan naik banding lagi. Semua itu ditolak Sir John, dan Raja memerintahkan agar ia ditangkap dan dipenjarakan di Menara London.
Oleh karena popularitas dan kehormatan Sir John Oldcastle yang besar, Uskup Agung memproses pengadilannya dengan lambat selama beberapa minggu dari September sampai Desember, tetapi hukumannya telah diputuskan terlebih dahulu, dan kutukan atas kebidatan John serta hukuman mati yang akan ia jalani dengan cara digantung dan dibakar tidak mengejutkan seorang pun.
Dalam pembelaannya, Sir John menulis ini: Tentang patung, saya tahu bahwa patung bukanlah masalah iman, tetapi dimaksudkan demikian karena iman kepada Kristus ditolerir oleh gereja untuk mewakili dan memunculkan dalam pikiran penderitaan Tuhan kita Yesus Kristus serta kemartiran dan kehidupan orang kudus lain yang baik. Namun, siapa pun yang memberikan penyembahan yang seharusnya diberikan kepada Allah kepada patung yang mati, atau meletakkan harapan, dan kepercayaan untuk mendapatkan pertolongan darinya seperti yang seharusnya ia lakukan kepada Allah semata, atau memiliki rasa cinta yang lebih besar kepada mereka daripada kepada Allah, ia melakukan dosa.
Selain itu, saya tahu sepenuhnya, bahwa setiap orang di bumi ini adalah peziarah menuju kebahagiaan atau penderitaan, dan orang yang tidak tahu perintah Allah yang kudus, dan melakukannya dalam hidupnya di sini meskipun ia mungkin menjalani ziarah ke seluruh dunia dan mati ketika melakukannya, ia akan dihukum; tetapi orang yang tahu perintah Allah yang kudus dan melakukannya; ia akan diselamatkan meskipun ia dalam hidupnya tidak pernah me1akukan ziarah, seperti dilakukan orang-orang sekarang, ke Canterbury, atau ke Roma, atau ke tempat lainnya.
Pada hari yang ditentukan untuk eksekusinya, Sir John Oldcastle dibawa keluar dari Menara London dengan tangan diikat di be1akang tubuhnya. Ia tersenyum dengan gembira kepada orang-orang di sekitarnya. Kemudian ia dibaringkan di atas api seolah-olah ia adalah pengkhianat kerajaan yang mengerikan dan diseret ke lapangan St. Gile. Ketika mereka tiba di tempat hukumannya dan ikatannya dilepaskan, Sir John berlutut dan memohon kepada Allah agar mengampuni musuh-musuhnya. Kemudian ia berdiri dan menasihati orang-orang yang datang ke sana untuk menaati hukum Allah yang tertulis dalam Alkitab dan untuk berhati-hati terhadap guru-guru yang kata-kata dan hidupnya bertentangan dengan Kristus. Kemudian perutnya diikatkan erat dengan rantai dan ia diangkat ke udara dan api mulai dinyalakan di bawahnya. Ketika api mulai menjilatnya, ia memuji Allah sampai ia tidak bisa memuji Dia lagi. Orang banyak yang menyaksikan ia mencucurkan air mata dan berduka-cita sebab orang yang baik dan saleh itu telah mati. Hal itu terjadi pada 1417.
Pada Agustus 1473, Thomas Granter ditangkap di London dan dituduh menyatakan secara terbuka bahwa ia percaya terhadap ajaran Wycliffe, yang menyebabkan ia dikutuk sebagai bidat yang bandel. Pada hari eksekusi, Thomas dibawa ke rumah sheriff dan ia diberi makanan. Sambil makan, ia berkata kepada orang-orang di sana, “Saya sekarang makan makanan yang enak sebab saya harus menghadapi konflik yang aneh sebelum saya makan lagi.” Ketika ia selesai makan, ia mengucap syukur kepada Allah atas kelimpahan pemeliharaan-Nya yang ajaib kemudian meminta agar ia segera dibawa ke tempat eksekusi sehingga ia bisa memberikan kesaksian tentang kebenaran prinsip-prinsip yang telah ia nyatakan. Kemudian ia dibawa ke bukit Menara dan dirantai di tiang. Di sana ia dibakar hidup-hidup dengan masih memberitakan kebenaran sampai napas terakhirnya.
Pada 1499 di Norwich, di timur laut London, seorang yang saleh bernama Badram dituduh oleh beberapa imam bahwa ia berpegang pada doktrin Wycliffe dan dibawa ke depan Uskup Norwich. Badram mengaku bahwa ia memercayai segala sesuatu yang mereka katakan. Ia dikutuk sebagai bidat yang bandel, surat perintah untuk eksekusi diberikan kepadanya dan ia dibakar di tiang, tempat ia menanggung penderitaannya dengan kesetiaan yang besar.
Pada 1506, seorang yang saleh bernama William Tilfrey dibakar hidup-hidup di Amersham, di wilayah yang tertutup yang disebut Stoneyprat. Pelaksana hukumannya memaksa anak perempuannya yang sudah menikah,Joan Clarke, untuk menyalakan api di sekeliling ayahnya dan melihat ia terbakar. Pada tahun yang sarna, Uskup Lincoln di Inggris Timur mengutuk imam bernama Father Roberts karena menjadi pengikut Lollard dan membakarnya hidup-hidup di Buckingham.
Pada tahun 1507, Thomas Norris, seorang laki-laki sederhana yang miskin dan tidak berbahaya, bercakap-cakap dengan imam di gerejanya tentang beberapa pertanyaan yang mengusiknya ten tang agama. Selama percakapan, imam memutuskan dari pertanyaan yang diajukan oleh Thomas bahwa ia adalah pengikut Lollard dan melaporkannya kepada Uskup. Thomas ditangkap, dikutuk, dan dibakar hidup-hidup.
Pada 1508 di Salisbury di Inggris selatan, Lawrence Guale dipenjarakan selama dua tahun kemudian dibakar hidup-hidup karena menyangkal bahwa roti dan anggur pada saat kebaktian berubah menjadi tubuh dan darah Yesus yang nyata ketika imam berdoa atasnya. Tampaknya Lawrence memiliki toko di Salisbury, dan suatu hari menjamu beberapa pengikut Lollard di rumahnya. Seseorang melaporkannya kepada Uskup dan Lawrence ditangkap lalu “diperiksa;” ia berpaut pada kepercayaannya dan dikutuk sebagai bidat.
Pada tahun yang sama di Chippen Sudburne, seorang perempuan yang saleh dibakar hidup-hidup di tiang oleh rektor yang bernama Dr. Whittenham, yang memeriksanya sebagai bidat dan mengutuknya. Ketika para pelaksana hukumannya dan yang lain meninggalkan tempat ia dibakar, seekor sapi jantan terlepas dari rumah penjual daging dan menanduk tubuh Dr. Whittenham. Sapi jantan itu membawa usus Whittenham di sekeliling tanduknya untuk beberapa saat, tetapi tidak berbuat apa-apa pada orang-orang lain di kerumunan orang banyak itu.
Pada 18 Oktober 1511, William Succling dan John Bannister, dibakar hidup-hidup di Smithfiled. Mereka sebelumnya telah menyangkal iman mereka kepada Kristus, tetapi kembali lagi pada pengakuan iman yang sejati.
Selama pemerintahan Henry VII (1485-1509), John Brown menyangkal kesaksiannya tentang Kristus karena takut disiksa dan sebagai hukuman ia harus membawa kayu api ke sekeliling Katedral St. Paul di London. Pada 1517, ia kembali pada pengakuan imannya kepada Kristus dan dikutuk oleh Uskup Agung Canterbury, Dr. Wonhaman dan dibakar hidup-hidup. Sebelum merantainya di tiang, Dr. Wonhaman dan Yester, Uskup Rochester, berusaha membuatnya menyangkal kembali dengan membakar kakinya dengan api sampai dagingnya terlepas dan terlihat tulang-tulangnya. Namun, kali ini John Brown berpaut pada kebenaran dalam penderitaannya dan mati dengan penuh kemuliaan bagi Kristus dan kebenaran firm an Allah.
Pada 25 Oktober 1518, John Stilincen ditangkap, dibawa ke depan Uskup London, Richard Fitz-James, dan menghukum ia sebagai bidat. John sebelumnya pernah menyangkal imannya kepada Kristus karena takut disiksa, tetapi ketika ia dirantai di tiang di Smithfield di depan kerumunan orang banyak, ia menyatakan bahwa ia adalah pengikut ajaran Wycliffe; dan meskipun ia sebelumnya sudah menjadi lemah dan menyangkal imannya, sekarang ia siap untuk mati demi kebenaran firman Allah.
Pada 1519 Robert Celin dan Thomas Matthew dibakar di London. Robert telah berbicara menentang ritual gereja dan ziarah.
Pada 1532, Thomas Harding dan istrinya dituduh bidat karena mereka menyangkal bahwa roti dan anggur berubah menjadi tubuh dan darah Kristus yang aktual ketika imam berdoa atasnya pada saat kebaktian. Untuk itu, Uskup Lincoln, di Inggris Timur, menghukum mereka dengan cara dibakar hidup-hidup di tiang. Mereka dibawa ke Cresham di Pell dekat Botely dan dirantai di tiang. Kayu api ditumpuk di sekeliling mereka dan dinyalakan. Ketika api berkobar, satu di antara pengamat Gereja Romayang marah memukul kepala Thomas dengan sepotong kayu api yang tebal begitu keras sehingga kepalanya terbelah terbuka dan otaknya terlempar ke dalam api. Imam-imam yang hadir pada saat pembakaran memberi tahu orang-orang bahwa siapa pun yang membawa kayu api untuk membakar bidat akan diberi surat pengampunan dosa yang akan mengizinkan mereka berbuat dosa selama 40 hari.
Menjelang akhir tahun itu, Worham, Uskup Agung Canterbury, menangkap seorang laki-laki bernama Hitten, yang adalah imam di Maidstone di Inggris tenggara. Hitten disiksa di penjara selama beberapa bulan dan sering diperiksa oleh Worham dan Uskup Rochester, Fisher, dalam usaha untuk membuatnya menyangkal kepercayaan ‘reformed’nya. Oleh karena gagal, mereka akhirnya memutuskan untuk mengakhiri penderitaannya, serta mengutuknya sebagai bidat, dan membakarnya hidup-hidup di depan gereja yang ia gembalakan sebagai peringatan bagi jemaat.
Orang sederhana, suami dan istri, imam jemaat, atau profesor di universitas tidak ada yang aman dari kemarahan pejabat gereja terhadap orang-orang yang menyangkal tradisi dan doktrin Paus. Thomas Bilney, profesor hukum di Universitas Cambridge, ditangkap sebagai bidat dan dibawa ke depan sidang uskup yang diadakan oleh Uskup London. Mereka mengancamnya berulang-ulang dengan siksaan dan hukuman bakar, dan menakut-nakutinya supaya ia menyangkal keyakinannya. Namun, segera setelah itu ia bertobat dengan dukacita yang mendalam. Dengan melakukannya, ia dibawa kembali ke depan sidang dan dihukum mati dengan cara dibakar sebagai “bidat yang keras kepala.” Sebelum Bilney dibakar, ia menyatakan bahwa ia benar-benar percaya kepada pendapat Martin Luther. Ketika dirantai di tiang, ia tersenyum kepada semua orang yang ada di sana dan berkata, “Saya telah mengalami banyak badai dalam dunia ini, tetapi kapal saya akan segera mendarat di surga.”Pada saat api berkobar di sekelilingnya ia berdiri tanpa bergerak dan berseru, “Yesus, aku percaya!” Kemudian ia pergi bertemu Dia yang ia percayai.
Meskipun para pejabat gereja bersikap sangat kejam terhadap bidat, mereka terutama melakukannya terhadap orang-orang yang sebelumnya imam, tetapi kemudian menentang tradisi dan doktrin buatan manusia. Di Barnes, di Surrey di Inggris selatan, seorang rahib bernama Richard Byfield ber tobat pada iman yang sejati ketika membaca terjemahan bahasa Inggris Perjanjian Baru Tyndale. Akibatnya ia juga menjadi percaya sepenuhnya terhadap pendapat Martin Luther. Ketika hal ini diketahui, ia ditangkap dan dicap sebagai bidat dan dimasukkan ke dalam penjara. Oleh karena ia adalah klerik[1] Roma yang bertobat, ia disiksa tanpa belas kasihan oleh para penuduhnya. Untuk membuatnya menyangkal imannya, ia sering dikurung dalam ruangan bawah tanah yang paling buruk di penjara, sebuah temp at yang membuat ia hampir tercekik karena bau busuk kotoran manusia dan air menggenang yang hampir menutupi lantai yang kotor itu. Tikus dan kecoak adalah satu-satunya temannya.
Kadang-kadang sipir penjara masuk ke dalam selnya dan mengikat tangannya di belakang punggungnya sampai pundaknya hampir terlepas dan meninggalkannya dalam posisi seperti itu selama berhari-hari tanpa makanan atau buang kotoran. Pada waktu lainnya mereka membawanya ke tempat pencambukan dan mencambuknya sampai hanya tersisa sedikit daging di punggungnya. Namun, ia masih tetap menolak untuk menyangkal iman kepada Kristus yang baru saja ia temukan. Jadi, ia dibawa ke Menara Lollard di Lambeth Palace, tempat Uskup Agung memerintahkan ia untuk dirantai lehernya di dinding dan dipukuli dengan kejam sehari sekali oleh pelayan-pelayannya. Akhirnya, sebagai tindakan belas kasihan, ia dikutuk, direndahkan seperti yang dialami Huss, dan dibakar di Smithfield, yang berada di utara Katedral St. Paul di London.
Pada tahun yang hampir sama, sekitar 1535, John Tewkesbury ditangkap karena membawa terjemahan bahasa Inggris Perjanjian Baru Tyndale dan karena itu melakukan pelanggaran terhadap “Induk gereja yang kudus.” Ketika diperhadapkan pada ancaman penyiksaan dan pembakaran, ia pertama-tama berkata bahwa ia tidak percaya apa pun yang telah ia baca yang bertentangan dengan doktrin Gereja Roma, tetapi kemudian ia bertobat dan mengaku bahwa ia percaya Alkitab yang sudah diterjemahkan itu benar dan doktrin Paus salah. Untuk itu, ia segera dibawa ke depan Uskup London dan dihukum sebagai “bidat yang bandel.” Selama ia dipenjara sebelum dieksekusi, ia disiksa begitu kejam sehingga ia sudah sekarat ketika mereka membawanya ke tiang di Smithfield. Di sana ia menyatakan dengan suara keras kejijikannya yang sepenuhnya pada doktrin Paus serta menyatakan keyakinannya yang kuat bahwa yang ia lakukan benar dalam pemandangan Allah.
Pada 1536 di Bradford-in-Wiltshire di Inggris tengah selatan, seorang dari desa yang tidak berbahaya, yang bernama Traxnal dibakar hidup-hidup karena ia tidak mau mengakui bahwa roti dan anggur sungguh-sungguh berubah menjadi tubuh dan darah Kristus selama kebaktian, dan tidak setuju bahwa Paus memiliki kekuasaan tertinggi atas hati nurani laki-laki dan perempuan.
Suatu ketika pada tahun 1538, Nicholas Peke dibakar sebagai bidat di Norwich di Inggris timur karena alasan yang sama seperti ketika Traxnal dihukum. Tiga pejabat Gereja Roma, Dr. Reading, Dr. Hearne, dan Dr. Spragwell memimpin acara pembakarannya. Ketika Nicholas sudah terbakar hangus sampai kulitnya berubah menjadi hitam seperti asp al, Dr. Spragwell memukulnya pada bahu kanannya dengan tongkat putih yang panjang dan berkata kepadanya, “Peke, sangkallah imanmu dan percayalah pada sakramen.” Peke menjawab, “Aku memandang rendah permintaanmu dan juga kamu.” Kemudian ia membungkuk, bersandar pada rantainya, dan meludahkan darah ke Dr. Spagwell yang menunjukkan sikap kejijikan dan penderitaannya. Kemudian Dr. Reading memberi tahu Nicholas bahwa ia akan memberikan surat pengampunan dosa selama 40 hari kepadanya jika ia mau menarik kembali pendapatnya, tetapi Nicholas tidak memerhatikan kebodohan Reading dan bersukacita bahwa Kristus telah memandangnya layak untuk menderita demi namaNya.
Orang lain yang dibakar selama pemerintahan Henry VIII adalah rahib tua bernama William Letton di desa Suffolk di Inggris timur. William telah berbicara menentang patung-patung yang dibawa dalam kebaktian gereja.
Pada tanggal 28 Juli 1540, Thomas Cromwell yang terkenal, Earl of Essex, dan politikus yang terkenal yang mengusulkan ROO (Hukum Supremasi) bahwa pada 1534 Raja Henry VIII menyatakan dirinya sendiri sebagai kepala gereja yang tertinggi, dieksekusi dengan dipenggal kepalanya. Kejatuhannya terjadi dengan cara demikian.
Cromwell telah mendorong raja untuk menikahi Anna dari Cleves untuk men dapatkan persekutuan dengan saudaranya, pemimpin Protestan di jerrnan timur. Henry dari awal membenci istrinya yang keempat dan persekutuan dengan Protestan merupakan hal yang tidak ia sukai karena ia ingin memelihara prinsip-prinsip iman Gereja Roma. Meskipun Cromwell dijadikan Earl of Essex dan Lord Chamberlain[2] yang agung pada April 1540, musuh-musuhnya membujuk Henry pada bulan Juni bahwa Cromwell adalah pengkhianat, baik terhadap agamanya maupun raja. Ia ditangkap pada 10 Juni, dihukum tanpa didengar pendapatnya dan dipenggal kepalanya pada 28 Juli 1540. Sebelum ia dipenggal, ia diperlakukan dengan kejam. Kemudian ia menyampaikan pidato yang pendek kepada orang-orang dan menyerahkan dirinya, dengan rendah hati, untuk dikapak.
Meskipun tuduhan terhadap Thomas Cromwell tidak berkaitan dengan agama, bangsawan ini bisa ditempatkan sebagai martir sebab bukan karena semangatnya untuk melepaskan Inggris dari Gereja Roma, agar ia mendapat perkenan raja. Ia melakukan lebih banyak hal untuk reformasi di Inggris daripada orang lain, kecuali Dr. Thomas Cranmer, terutama untuk itu ia membuat marah pendukung Paus, dan mereka merencanakan menentangnya dan mendatangkan kehancuran padanya.
Sekitar saat itu, Dr. Robert [atau Cutbert] Barnes,Thomas Gamet, dan William Jerome dibawa ke depan sidang uskup London dan dituduh sebagai bidat. Tiga orang itu dijatuhi hukuman bakar dan dipenjara di Menara London. Tidak lama se sudahnya, tanggal 30 Juli 1540, mereka dibawa ke Smithfield dan dirantai bersama-sama pada satu tiang. Dr. Barnes ditanya, entah di pengadilan oleh Uskup atau di tiang oleh Sheriff London sebab laporannya berbeda, apakah orang-orang kudus yang sudah meninggal berdoa bagi kita, Barnes menjawab, seperti dilaporkan, kepada Sheriff, “Di seluruh Alkitab kita tidak pernah diperintahkan untuk berdoa kepada orang kudus mana pun. Oleh karena itu saya tidak dapat berkhotbah kepadamu bahwa orang-orang kudus harus berdoa kepada mereka sebab jika begitu saya akan berkhotbah kepadamu doktrin dari kepala saya sendiri.Jika orang-orang kudus berdoa untuk kita, saya berharap untuk berdoa bagimu dalam waktu setengah jam ini.” Pada saat nyala api berkobar di sekeliling ketiga martir itu, mereka saling menguatkan satu dengan yang lain dengan keberanian yang tak tergoyahkan yang hanya bisa muncul dari iman yang sejati kepada Yesus Kristus.
Tidak lama setelah itu, seorang pedagang bernama Thomas Sommers dan tiga orang laki-laki lain ditangkap karena membaca beberapa buku Martin Luther. Hukuman untuk mereka adalah membawa buku-buku itu untuk dibakar di pusat pasar di Cheapside dan di sana melemparkan buku-buku itu ke dalam api. Ketiga laki-laki lain itu melemparkan buku mereka ke api, tetapi Thomas melemparkan buku-bukunya melewati api itu sehingga buku-buku itu tidak terbakar. Untuk itu ia dikirimkan kembali ke Menara London tempat ia dilempari batu sampai mati.
Selama waktu itu, Dr. Longland, Uskup Lincoln di lnggris Timur, menjadi sangat marah terhadap kebidatan sehingga ia membakar Thomas Bainard di tiang hanya karena ia mengucapkan Doa Bapa Kami dalam bahasa lnggris, dan James Moreton karena membawa surat Yakobus dalam bahasa lnggris. Ia kemudian mengirim seorang imam, Anthony Parsons, seorang laki-laki bernama Eastwood, dan orang lain, ke Windsor di lnggris tengah selatan untuk diperiksa oleh Uskup Salisbury, yang kekejamannya hanya dilampaui Bonner sebagai pe1aksana hukuman. Uskup tidak memboroskan waktu dalam pemeriksaan mereka dan menghukum ketiga orang itu dengan cara dibakar.
Ketika mereka dirantai di tiang, Parsons meminta air minum dan ketika ia menerima air itu, ia mengangkat cawan itu kepada kedua temannya dan berkata, “Bersukacitalah saudaraku dan angkat hatimu kepada Allah sebab setelah sarapan yang tergesa-gesa ini kita akan mendapat makan malam yang menyenangkan dalam kerajaan Kristus Tuhan dan Penebus kita.” Ketika Eastwood mendengar kata-kata Parsons, ia mengangkat matanya ke surga dan memohon kepada Tuhan untuk menerima rohnya segera.
Pelaksana hukuman telah menumpuk kayu api dan jerami di sekeliling tiang, dan Parsons menarik jerami ke dekatnya, memegangnya ke dekat dadanya, dan berkata kepada orang-orang yang berkumpul untuk melihat pembakaran itu, “lni adalah senjata Allah dan sekarang saya sebagai prajurit Kristus mempersiapkan diri untuk peperangan. Saya tidak mencari belas kasihan, melainkan anugerah Kristus. Dialah satu-satunya Juruse1amat saya, dan saya memercayakan kese1amatan saya kepada-Nya.” Kemudian api dinyalakan dan tubuh mereka terbakar, tetapi tidak ada apa pun yang bisa merusak jiwa mereka yang berharga dan tidak binasa. Kesetiaan mereka menang atas kekejaman, dan penderitaan mereka menjaga nama mereka tetap ada dalam hati orang-orang yang mengasihi para martir.
Jadi, para pengikut Kristus yang saleh di Inggris dianiaya dengan segala macam kekejaman dengan cara yang licik yang bisa dirancang manusia. Sebab di parlemen yang seharusnya memberikan perlindungan kepada warga negara Inggris yang baik, Raja Henry VIII telah membuat peraturan yang paling kejam dan menghujat Allah: “Siapa pun yang membawa Alkitab dalam ‘pemahaman Wycliffe’ [bahasa ibu, Inggris], akan kehilangan tanah, ternak, harta benda, tubuh, dan kehidupan dari diri mereka sendiri dan ahli waris mereka untuk selama-lamanya; dan ia dihukum sebagai bidat kepada Allah, musuh kerajaan dan pengkhian at total kepada Inggris.” Itulah pahala manusia bagi orang percaya sejati kepada Kristus, tetapi pahala Tuhan bagi mereka adalah mahkota kebenaran untuk selama-lamanya.
0 comments:
Post a Comment