St. Paulus Miki dan Para Martir Nagasaki

St. Paulus Miki

Mari kita berkenalan dengan tokoh-tokoh utama dalam drama penyaliban ini. Tokoh yang menjatuhkan hukuman mati kepada ke-26 martir tersebut ialah Toyotomi Hideyoshi, yang lebih dikenal dengan nama Taikosama, seorang penguasa Jepang yang tinggal di Benteng Osaka. Pelaksana hukuman mati ialah Terazawa Hazaburo, saudara Gubernur Nagasaki. Sebagai tokoh utama adalah ke-26 martir yang dijatuhi hukuman mati. Ikut serta mengiringi mereka ialah para misionaris Yesuit dari Nagasaki, para pelaut Spanyol, para pedagang dari Macao, para prajurit serta para algojo.

Terazawa dan kerumunan orang banyak sudah menunggu ke-26 orang yang dijatuhi hukuman mati tersebut di Bukit Nishizaka -sekarang lebih dikenal dengan sebutan Bukit Kudus atau Bukit Para Martir. Suatu tugas yang amat berat bagi Terazawa. Seorang dari para tawanan, Paulus Miki, adalah sahabat karibnya; ia sering mendengarkan khotbahnya. Para tawanan itu tidak melakukan kejahatan apapun dan Terazawa tahu itu. Oleh karenanya, Terazawa memperkenankan sedikit kelonggaran, misalnya mengijinkan dua orang imam Yesuit - P. Pasio dan P. Rodriguez - untuk mendampingi para martir menjelang ajal mereka.

Jam setengah sebelas rombongan para martir tiba. Di barisan depan tampak para pengawal membuka jalan melalui khalayak ramai yang telah menunggu. Dibelakang mereka, berjalan para martir. Mereka tampak amat letih. Tenaga mereka telah terkuras habis oleh tiga puluh hari perjalanan yang meletihkan dari Urakami ke Nagasaki 600 mil (±966 km). Tangan mereka terikat erat, kaki mereka, yang bersusah-payah berjalan di atas timbunan salju, meninggalkan tetesan-tetesan darah di sepanjang jalan. Daun telinga kiri mereka telah dipotong sebulan yang lalu sebelum mereka meninggalkan Kyoto. Badan mereka memar dan penuh luka karena sepanjang perjalanan mereka disiksa dan dengan demikian dijadikan contoh pelajaran bagi warga lainnya. Sungguh suatu Jalan Salib yang amat berat dan panjang.

Ketika rombongan martir tiba di atas bukit, 26 kayu salib sudah siap tergeletak di tanah menanti mereka. Panjangnya rata-rata lebih dari dua meter, dua balok yang saling menyilang dengan sebuah pasak dimana para korban dapat duduk mengangkang.

P. Ganzalo, yang pertama tiba, langsung menghampiri salah satu salib tersebut: “Inikah untukku?” tanyanya. Ia berlutut dan memeluk salibnya. Para martir yang lain ikut melakukan hal yang sama. Kemudian, satu per satu, para martir diikatkan pada kayu salib. Tidak ada paku. Kaki dan tangan serta leher mereka dibelenggu pada tiang salib dengan gelang besi. Sebuah tali diikatkan melingkar pada pinggang mereka agar mereka terikat erat pada salib. Bagi P. Petrus Bautista, gelang besi tidak cukup kuat. “Paku saja, saudaraku,” pintanya kepada seorang algojo sembari merentangkan tangannya. 

Ternyata cukup sulit mengikatkan Paulus Miki pada kayu salib. Calon imam Jepang itu terlalu pendek dan kakinya tidak mencapai gelang besi. Seorang algojo mengikatkan tubuh Paulus Miki pada salib dengan lilitan kain linen. Ketika algojo menginjak-injak tubuhnya untuk mempererat lilitan kain, seorang misionaris tidak dapat menahan diri. “Biarkan ia melakukan tugasnya, Romo,” kata Paulus Miki, “percayalah, tidak terlalu sakit.” 

Ketika semua martir telah terikat pada kayu salib, keduapuluh enam salib tersebut secara serempak diberdirikan dan dengan sebuah hentakan keras salib-salib tersebut ditancapkan ke tanah. Para martir merasakan sakit yang amat hebat di sekujur tubuh mereka akibat hentakan tersebut. Kemudian para martir bersatu dalam suatu paduan suara puji-pujian dimana doa, harapan, iman dan kemenangan yang telah menanti bercampur menjadi satu.

Yohanes dari Goto pagi itu baru saja mengucapkan sumpah pertamanya sebagai seorang Yesuit. Remaja berumur 19 tahun itu telah siap untuk mempersembahkan kepada Tuhan hidup yang tanpa cela, hati yang belia, yang penuh harapan dan semangat sukacita. Ketika Yohanes mendekati salibnya, seorang misionaris berusaha menguatkan hatinya. Surga sudah hampir berada di tangan. “Jangan khawatir, Romo,” jawab Yohanes dengan tersenyum, “saya sadar akan hal itu.”

Di sebelahnya, disalibkan Louis Ibaraki, berumur 12 tahun. Ketika seseorang menyebutkan kata ‘surga’ kepadanya, remaja itu meronta-ronta berusaha melepaskan diri dari belenggunya, seolah-olah hendak terbang ke angkasa. Suara soprannya terdengar sayup-sayup ditelan keributan massa: “Surga, surga…Yesus, Maria!”

Alasan hukuman mati bagi para martir ditancapkan pada ujung sebuah tombak. Paulus Miki dapat membacanya dari salibnya: “Karena orang-orang ini berasal dari Filipina dengan menyamar sebagai duta besar dan tinggal di Miyako, menyebarkan agama Kristen, yang selama bertahun-tahun ini saya larang dengan keras, saya sampai pada keputusan untuk menghukum mati mereka, bersama dengan orang-orang Jepang yang telah menerima agama tersebut.”

Paulus meluruskan tubuhnya yang tergantung di kayu salib, memandang ke arah orang banyak dan berseru dengan suara nyaring: “Kalian semua yang berada di sini, dengarkanlah saya.”

Keheningan segera meliputi seluruh bukit: “Saya tidak datang dari Filipina, saya ini seorang Jepang asli, seorang saudara dari Serikat Yesus. Saya tidak melakukan kejahatan apapun, dan satu-satunya alasan mengapa saya dijatuhi hukuman mati ialah bahwa saya telah mewartakan ajaran Tuhan kita Yesus Kristus. Saya sungguh merasa bahagia diperkenankan meninggal oleh karena alasan tersebut, kematian saya merupakan suatu anugerah besar dari Tuhan. Pada saat yang genting ini, saat dimana kalian bisa percaya bahwa saya tidak akan menipu kalian, saya ingin menekankan dan menyatakan dengan gamblang bahwa tidak ada seorang pun beroleh keselamatan jika tidak melalui ajaran Kristen.” 

Paulus juga melihat Terazawa dan para algojo. Bagi mereka, ia juga menyampaikan pesannya yang terakhir: “Agama Kristen mengajarkan agar kita mengampuni musuh-musuh kita dan semua orang yang bersalah kepada kita. Oleh karena itu saya hendak mengatakan bahwa saya mengampuni Taikosama. Saya mendambakan semua orang Jepang menjadi Kristen.” 

Kemudian Paulus Miki mengarahkan jiwanya ke surga: “Tuhan ke dalam tangan-Mu aku menyerahkan jiwaku. Datanglah menyambutku, ya Para Kudus Allah…”

St. Martin menyanyikan madah “Kemuliaan” dan “O, pujilah Tuhan, ya segala bangsa…”. Fr. Gonzalo mendaraskan Bapa Kami. Para martir yang lain memadahkan nyanyian serta puji-pujian. Kemudian di seluruh bukit, termasuk orang banyak yang menonton, dengan penuh semangat menggemakan: Yesus, Maria….Yesus, Maria.”

Tetapi tidak semua. Seorang martir, Fr Filipus dari Yesus, tidak bisa ikut menyanyi. Pasaknya di kayu salib terlalu rendah; dan seluruh tubuhnya bergantung pada gelang besi di lehernya, mencekiknya hingga sulit bernapas. Dengan sisa-sisa kekuatannya, Fr Filipus menyerukan nama Yesus tiga kali. Terazawa melihatnya sekarat dan tidak ingin melihatnya menderita lebih lama lagi. Ia memberi perintah dan dua algojo mengakhiri penderitaan martir Meksiko tersebut dengan sebilah tombak. Pada saat yang sama ibunya di Meksiko sedang mempersiapkan perlengkapan jubahnya untuk Misanya yang pertama. Pohon ara di rumah orangtuanya tiba-tiba bersemi dengan daun-daun baru.

Kematian Fr Filipus menjadi tanda dimulainya pelaksanaan hukuman mati. Empat orang algojo segera bersiap-siap. Tombak mereka panjang dengan pisau yang menyerupai pedang, tersembunyi di balik sarung pedang mereka. Setelah mengambil posisi, para algojo membuka sarung pedangnya. Dengan tikaman di dada, jiwa-jiwa para martir dihantar ke surga.

Ketika tiba giliran P. Blanco, sambaran tombak menyebabkan tangannya lolos dari belenggu gelang besi. P. Blanco berusaha keras kembali ke posisi semula agar ia pun dapat mati disalib seperti Yesus Kristus. Ketika P. Martin ditikam dengan tombak, mata tombaknya terlepas dan tertancap di dadanya. Algojo naik ke atas salib, merogoh lukanya dan mencabut mata tombak dari dadanya. P. Martin tetap tenang dan tak bergeming, tabah menunggu tikaman berikutnya.

Martir yang paling akhir wafat ialah P. Bautista. Sepanjang pelaksanaan hukuman salib, ia nyaris tak bergerak, tenggelam dalam doa dan ekstasi. Sekarang, ketika para algojo dan tombak yang berlumuran darah itu berada di hadapannya, ia menggerakkan bibirnya untuk mengucapkan doanya yang terakhir: “Tuhan, ke dalam tangan-Mu kuserahkan jiwaku.” Kemudian ia tidak bergerak lagi, bahkan ketika tombak menghujam di dadanya. Darah mengalir dengan deras tetapi ia tampak seperti masih hidup. Sempat tersiar kabar bahwa ia tidak wafat disalib. Beberapa hari sesudah hukuman mati itu, beberapa orang melihat tubuhnya bergerak-gerak, sebagian lagi bahkan melihatnya mempersembahkan Misa di RS St. Lazarus! (Jenasah para martir dibiarkan tergantung pada kayu salib hingga beberapa minggu kemudian).

Orang-orang Kristen Portugis dan Jepang yang hadir dalam pelaksanaan hukuman mati tersebut tidak dapat menahan diri lagi. Mereka menerobos para pengawal, maju mendekati salib dan membasahi sobekan-sobekan kain dengan darah para martir serta mengumpulkan bongkahan-bongkahan tanah yang telah disucikan oleh darah mereka. Mereka bahkan menyobek jubah dan kimono para martir untuk dijadikan reliqui. Para pengawal memukuli mereka dan mengusir mereka pergi. Darah orang banyak yang mengalir kemudian bercampur dengan darah para martir. Terazawa menempatkan para pengawal di seluruh bukit dan mengeluarkan larangan keras bagi siapa saja untuk tidak mendekati salib. Setelah menyelesaikan tugasnya, Terazawa meninggalkan bukit. Orang banyak yang hadir melihat bahwa seorang prajurit yang tegar seperti Terazawa itu menangis.

Sinar matahari sore menyinari bukit di mana ke-26 martir masih tergantung di kayu salibnya masing-masing. Mereka seperti sedang tertidur, beristirahat setelah perjalanan yang panjang dan melelahkan. Ke-26 martir itu sesuai dengan urutan salibnya ialah:
  • St. Fransiskus, seorang tukang kayu dari Kyoto, seorang yang teguh dan setia. Ia memaksa mengikuti para martir hingga ia sendiri akhirnya ditangkap dan boleh bergabung dengan rombongan para martir. 
  • St. Cosmas Takeya, seorang pembuat pedang dari Owari. Ia dibaptis oleh Serikat Yesus dan bekerja sebagai seorang katekis bersama Ordo Fransiskan (OFM) di Osaka.
  • St. Petrus Sukejiro, seorang pemuda dari Kyoto yang dikirim oleh P. Organtino untuk mendampingi para martir dalam perjalanan mereka ke Nagasaki. Pengabdiannya yang besar pada tugasnya menghasilkan rahmat baginya untuk bergabung dalam bilangan para martir.
  • St. Mikael Kozaki, berusia 46 thun, berasal dari Ise, seorang pembuat busur. Dengan keahliannya sebagai tukang kayu, ia ikut serta membangun biara-biara serta gereja-gereja OFM di Kyoto dan Osaka. Ia mempercayakan miliknya yang paling berharga kepada para biarawan OFM, yaitu anaknya, Thomas.
  • St. Yakobus Kisai, berusia 64 tahun, seorang Serikat Yesus awam. Devosinya kepada Sengsara Kristus amat mendalam. Dikenal sebagai seorang yang lemah lembut dan hatinya penuh kedamaian. Ia berasal dari Okayama dan bertugas mengurus para tamu yang berkunjung ke kediaman Serikat Yesus.
  • St. Paulus Miki, berusia 30 tahun, berasal dari Tsunokuni, putera seorang perwira yang gagah berani bernama Miki Handayu. Rasa syukurnya atas panggilannya untuk mewartakan Injil melebihi apapun juga. Sebentar lagi tiba saatnya bagi Paulus Miki untuk ditahbiskan sebagai seorang imam. Seorang pengkhotbah terbaik di daerahnya. Ia baru diam ketika algojo menghujamkan tombak ke dadanya. 
  • St. Paulus Ibaraki, berasal dari Owari dari sebuah keluarga samurai. Ia bersama keluarganya tinggal dekat biara OFM. Hidup miskin tetapi banyak membantu orang-orang lain yang lebih miskin darinya. Ia juga seorang pengkhotbah. 
  • St. Yohanes dari Goto, pemuda berusia 19 tahun dari pulau Goto ini penuh dengan sukacita. Ia melayani Tuhan sepanjang hidupnya. Ia bersekolah di sekolah Serikat Yesus untuk menjadi seorang Katekis dan membantu para misionaris dengan keahliannya melukis dan bermain musik. Ia ditempatkan di Osaka di bawah bimbingan P. Morejon sampai Tuhan menawarkan mahkota kemartiran kepadanya.
  • St. Louis Ibaraki, berusia 12 tahun, yang termuda dari rombongan para martir. Ia dilahirkan di Owari, keponakan St. Paulus Ibaraki dan St. Leo Karasumaru. Anak yang menyenangkan dan disayangi semua orang. Ia tetap menyanyi dan tertawa ketika serdadu memotong telinga kirinya. Sepanjang perjalanan yang jauh ke Nagasaki dan selama tergantung di atas kayu salib, ia membuktikan ketabahan dan kebesaran hatinya. Ia menolak mentah-mentah ketika dibujuk untuk mengingkari imannya. “Ada Louis kecil bersama kita,” tulis P. Fransiskus Blanco di malam menjelang hukuman mati, “dan ia begitu penuh keberaninan dan semangat yang mengharukan semua orang.”
  • St. Antonius, berusia 13 tahun, dilahirkan di Nagasaki. Ayahnya seorang Cina dan ibunya seorang Jepang. Remaja yang polos ini belajar di biara OFM di Osaka. Hal yang amat memilukan hatinya ialah ketika melihat ibunya menangis tidak jauh dari salibnya. Ajal menjemput ketika ia memadahkan lagu-lagu pujian.
  • St. Petrus Baptista, berusia 50 tahun, berasal dari San Esteblan del Valle (Avila, Spanyol). Pemimpin Misi OFM (Saudara-saudara Dina) di Jepang, dulunya seorang duta besar dari Spanyol. Ia merupakan ayah bagi kaum lepra dan pemimpin rombongan martir. Hidupnya penuh dengan kebajikan dan kekudusan.
  • St. Martin dari Kenaikan (Yesus ke surga), berusia 30 tahun, berasal dari Guipuzcoa, Spanyol. Kesucian hatinya sungguh mengagumkan. Biasa menghabiskan waktu malamnya dengan doa.
  • St. Filipus dari Yesus, seorang Meksiko berusia 24 tahun. Hidupnya penuh dengan tantangan yang membingungkan, adu kekuatan antara Kristus dan Filipus, tidak satupun dari mereka yang mau kalah. Pada akhirnya Kristus menjadi pemenang dan sekarang Filipus penuh dengan semangat untuk menebus masa-masa dimana ia menjadi anak yang hilang: ia yang wafat pertama sebagai martir.
  • St. Gonzalo Garcia, berusia 40 tahun, berasal dari Bazain, India. Ayahnya seorang Portugis dan ibunya seorang India. Seorang katekis bersama Serikat Yesus. Ia masuk OFM awam, dan menjadi tangan kanan St. Petrus Baptist. Masyarakat India mengangkatnya menjadi santo pelindung Bombay.
  • St. Fransiskus Blanco, berasal dari Monterrey (Galacia, Spanyol). Datang ke Jepang bersama dengan St. Martin dari Kenaikan. Seorang yang pendiam, lembut dan genius.
  • St. Fransiskus Dari St Mikael, berusia 53 tahun, berasal dari La Parrilla (Valladolid, Spanyol). Seorang awam ordo OFM.
  • St. Matias, kita tidak mengetahui latar belakangnya. Para prajurit mencari Matias lain yang tidak dapat diketemukan, atau ia menawarkan diri untuk menggantikan Matias yang dicari. Para prajurit dengan senang hati menerima dia. Tuhan juga menerimanya juga.
  • St. Leo Karasumaru, berasal dari Owari, adik dari St. Paulus Ibaraki. Hidupnya merupakan teladan. Memberikan sumbangan besar kepada OFM dalam membangun gereja dan mengelola rumah sakit. Seorang katekis yang penuh semangat dan doa.
  • St. Bonaventura, dibaptis ketika masih bayi, tak lama kemudian ibunya meninggal. Ibu tirinya mengirim Bonaventura ke biara Budha. Suatu hari ia mengetahui perihal pembaptisannya dan mengunjungi Biara OFM di Kyoto untuk mendapatkan lebih banyak keterangan. Di biara, ia mendapatkan kedamaian hati. Sepanjang perjalanannya menuju hukuman mati, ia berdoa bagi iman ayahnya dan pertobatan ibu tirinya.
  • St. Tomas kozaki, berusia 14 tahun, berasal dari Ise. Seorang anak desa yang tingkah lakunya kasar, tetapi hatinya mulia. Ia membantu ayahnya yang bekerja sebagai tukang kayu. Ia tinggal di biara OFM. Seorang yang jujur, tegas, dan memiliki semangat pengabdian yang tinggi dalam melayani Tuhan. Surat perpisahannya kepada ibunya menjadi reliqui yang amat berharga.
  • St. Yoakim sakakibara, berusia 40 tahun, berasal dari Osaka. Ketika sedang sakit keras, seorang katekis membaptisnya. Sebagai rasa terima kasih, St. Yoakim membantu pendirian biara OFM di Osaka dan kemudian tinggal di sana sebagai juru masak. Ia unggul dalam kebaikan hati dan kesediaannya untuk melayani. 
  • St. Fransiskus, berusia 48 tahun, berasal dari Kyoto. Seorang dokter dan pengkhotbah yang penuh semangat. Setelah ia dan isterinya dibaptis, mereka tinggal di dekat biara OFM. Mereka merawat orang-orang sakit tanpa memungut bayaran dan membawa mereka kepada Kristus.
  • St. Tomas dangi, seorang penjual obat, wataknya keras. Dengan rahmat Tuhan ia berkembang menjadi seorang katekis yang lembut hati. Ia mendirikan tokonya di sebelah biara OFM, dan sementara ia menjual obat, ia juga menunjukkan kepada para pelanggannya jalan menuju surga.
  • St. Yohanes Kinuya, berusia 28 tahun, berasal dari Kyoto. Seorang penenun dan pedagang kain sutera. Ia memindahkan tokonya dekat biara OFM. 
  • St. Gabriel, berusia 19 tahun, berasal dari Ise. Dibaptis dan dibimbing oleh Fr. Gonzalo. Ia maju pesat dalam iman. Gabriel bekerja sebagai seorang katekis.
  • St. Paulus Suzuki, berusia 49 tahun, berasal dari Owari. Ia unggul dalam semagat pewartaan, salah seorang katekis terbaik yang membantu OFM. Ia diserahi tugas mengelola Rumah Sakit St Yusuf di Kyoto.
Banyak yang percaya bahwa itulah saat akhir kehidupan Kristiani di Jepang. Bagaimana pun juga, semua orang melihat apa yang telah terjadi. Ketika para misionaris kembali ke Jepang sekitar tahun 1860-an, pada awalnya mereka tidak menemukan tanda-tanda kehidupan Kristiani di sana. Baru setelah mereka menetap di sana, mereka menemukan beberapa orang Kristen. Kemudian, mereka menemukan ribuan orang Kristen di daerah sekitar Nagasaki. Mereka ini memelihara imannya secara sembunyi-sembunyi.

Kedua puluh enam martir Jepang ini dibeatifikasi pada tahun 1627, dan diangkat sebagai santo oleh Paus Pius IX pada tahun 1862. Pestanya dirayakan setiap tanggal 6 Februari.

0 comments:

Post a Comment

Total Pageviews

Praditya. Powered by Blogger.

Translate

Search