Penganiayaan di Skotlandia (1527-1558)

Ajaran dan kontroversi Martin Luther dengan Gereja Roma memiliki dampak yang sangat luas di seluruh Eropa, Inggris Raya, dan di banyak tempat lainnya. Hal itu menggelitik hati banyak orang dan mendorong mereka untuk menyelidiki kebenaran firman Allah. Diantara mereka terdapat orang Skotlandia bernama Patrick Hamilton. Untuk mempelajari kebenaran Alkitab, ia dan ketiga temannya belajar di Universitas Marburg di Jerman Tengah Barat, utara Franlifurt. Ini merupakan universitas Kristen pertama di Eropa dan didirikan oleh Pangeran Philip dari Hesse, yang pada saat itu menjadi penguasa (landgrave) yang berusia 23 tahun. Sementara di sana, Patrick dan teman-temannya menjadi teman Martin Luther dan Philiph Melanchthon, teolog Jerman yangpada 1521 menulis Loci Communes, makalah ekstensif pertama tentang doktrin Kristen. Tulisan dan ajaran Luther dan Melanchthon meyakinkan Hamilton dan teman-temannya untuk meninggalkan Gereja Roma dan bertobat pada keyakinan Protestan.

Sekarang setelah dibakar dengan pengetahuan tentang iman dan kesalehan yang sejati, Patrick Hamilton merasa antusias untuk kembali ke Skotlandia dan mengajar penduduk di negaranya tentang jalan Allah dan Kristus yang benar seperti dinyatakan dengan jelas dalam Alkitab. Ia membawa ketiga temannya kembali ke negaranya tanpa menunda-nunda. Ia mulai mengajar apa pun yang bisa ia lakukan. Namun James Beaton, Uskup Agung St. Andrews, yang ada di kepausan Roma yang tidak mau berubah, segera mendengar ajaran Hamilton dan memanggilnya untuk muncul di hadapannya. Hamilton datang tanpa menunda-nunda dan berpikir ini merupakan kesempatan untuk berdebat dengan doktrin Gereja Roma. N amun, setelah pemeriksaan yang hanya berlangsung singkat, Uskup Agung memerintahkan ia agar ditangkap dan dikurung di bagian kuil St. Andrews yang paling menjijikkan sampai keesokan harinya, ketika ia dibawa ke depan sidang uskup untuk diperiksa lebih lanjut sebagai bidat. 

Tuduhan yang dikenakan padanya adalah ia secara umum tidak menyetujui ziarah, api penyucian, doa -doa kepada orang kudus, doa-doa kepada orang mati, kebaktian dan telah menyangkal ketidakmungkinan Paus untuk berbuat salah. Untuk itu ia segera dijatuhi hukuman dibakar hidup-hidup dan dengan perintah Uskup Agung yang fanatik hukuman itu dilaksanakan sore hari itu juga.

Ketika Hamilton dibawa ke tempat pembakaran hanya satu hari setelah ia bersedia bertemu dengan Uskup Agung, kerumunan orang banyak yang berkumpul tidak percaya bahwa mereka sungguh-sungguh akan membakarnya. Mereka berpikir bahwa itu merupakan bagian dari pemeriksaannya dan dimaksudkan untuk menakut-nakuti ia agar mencabut kembali ajarannya dan kembali ke doktrin Gereja Roma. Namun, mereka segera tahu bahwa mereka salah. 

Ketika mereka membawa Hamilton ke tiang, ia berlutut dan berdoa dengan tekun untuk beberapa saat. Ketika ia selesai, ia dibelenggu di tiang dan kayu api ditumpuk di sekelilingnya. Kemudian satu diantara kantong bubuk mesiu diletakkan di ketiaknya masing-masing dan dinyalakan pertama kali, tetapi bubuk itu tidak meledak dan hanya menghanguskan tangan dan mukanya tanpa melukainya atau membuat api itu menyala. Jadi, lebih banyak bubuk mesiu dan beberapa kayu kering ditambahkan dan diletakkan di atas kayu api itu, dan dinyalakan. Bubuk mesiu tidak meledak, tetapi hanya menyala dan api segera berkobar. Ketika api mulai menyelubungi tubuh Hamilton, ia berseru, “Tuhan Yesus, terimalah rohku! Berapa lama kegelapan akan menutupi wilayah ini? Dan berapa lama Engkau mengizinkan tirani orang-orang ini?” Namun, tampak jelas kayu api itu sendiri berwarna hijau dan setelah api semula padam, nyala api itu membakar dengan perlahan dan menyebabkan penderitaan yang hebat padanya. Namun, ia menanggung penderitaannya dengan keberanian Kristen yang begitu besar sehingga jelas bagi semua orang percaya yang benar yang menyaksikan bahwa kasih karunia Allah menyertainya dengan limpah dalam kemartirannya. Hal itu terjadi pada 1527. 

Pada 1529, seorang rahib Benediktus bernama Henry Forest mulai berkhotbah bahwa Patrick Hamilton adalah martir dan banyak hal yang ia ajarkan itu benar. Ketika Uskup Agung James Beaton diberi tahu tentang hal ini, ia menyuruh Forest ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Kemudian ia mengirim seorang biarawan untuk mendengar pengakuan Forest karena tahu bahwa rahib yang baik itu akan berbicara dengan bebas karena ia berpikir pengakuannya akan dirahasiakan sebagaimana mestinya. Namun, Uskup Agung memerintahkan biarawan itu untuk melaporkan kepadanya semua yang dinyatakan Forest. Biarawan tersebut melakukannya seperti Yudas Iskariot yang licik. Dalam pengakuannya, Henry Forest memberi tahu biarawan itu bahwa menurutnya Patrick Hamilton orang yang baik dan ajarannya bisa didukung oleh Alkitab. Hal ini digunakan oleh Uskup Agung sebagai bukti untuk menentang Forest dan ia dijatuhi hukuman dengan cara dibakar hidup-hidup sebagai bidat. 

Oleh karena Henry Forest orang yang saleh dan terkenal, Uskup Agung bertanya kepada sidang bagaimana cara pelaksanaan eksekusinya supaya orang-orang tidak terlalu terpengaruh. John Lindsay, satu di antara pembantu Uskup Agung, menyarankan agar mereka mengeksekusi Forest di tempat tersembunyi seperti gedung bawah tanah. Ia berkata, “Sebab asap pembakaran Patrick Hamilton akan menulari semua orang yang terkena asap itu.” Uskup Agung setuju dengannya lalu menyuruh Forest dibawa ke gedung bawah tanah lalu di sana mencekiknya dengan bantal yang tebal di atas wajahnya. 

Pada 1534, David Stratton [atau Straiton] lalu Norman Gourlay [atau Guley] dengan gembira menyerahkan hidup mereka untuk kebenaran Injil. Gourlay ditangkap karena mengatakan bahwa pemimpin Gereja Roma adalah antikris juga ia tidak memiliki wewenang di Skotlandia. Stratton ditangkap berdasarkan tuduhan yang sarna; ia telah berkata bahwa tidak ada api penyucian, hanya penderitaan Kristus lalu kesusahan besar di dunia ini. Stratton adalah nelayan serta ada tuduhan ini terhadapnya: ketika Matser Robert Lawson, pendeta [imam] Eglesgrig, meminta persepuluhan dari ikannya, Stratton mengulurkan ikan itu kepadanya dari kapallalu beberapa ikan jatuh ke dalam air lalu berenang pergi. Kemudian imam itu menuduh Stratton bidat karena tindakannya itu. Imam itu berkata bahwa Stratton mengatakan bahwa persepuluhan itu jangan diberikan kepada gereja.

Gourlay dan Stratton ditangkap lalu dikutuk sebagai bidat oleh Uskup Rose. Mereka dibakar di daerah berumput luas antara Edinburgh lalu Leith sebab Uskup Agung ingin penduduk di sekitar Fife melihat api itu, dipenuhi kengerian, dan rasa takut saat membayangkan bahwa jika mereka memegang keyakinan seperti Gourlay dan Stratton, mereka dibakar juga. Namun, tidak ada rasa takut yang ditunjukkan di tiang penghukuman. Kedua orang terhukum itu dengan gembira menyerahkan nyawa mereka kepada Allah yang telah memberikan itu kepada mereka karena mengetahui bahwa melalui kasih karunia Penebus mereka yang agung, mereka akan mendapatkan kebangkitan yang mulia dalam kehidupan yang kekal.

Pada 1538, Dean Thomas Ferret, imam di Dolor dan kanon di St. Colm’s Inche, berkhotbah setiap Minggu pagi kepada jemaatnya dari Perjanjian Baru. Hal ini jarang terlihat di Skotlandia karena biasanya hanya biarawan hitam atau biarawan abu-abu yang berkhotbah dan hampir tidak pernah dari Alkitab. Oleh karena itu para biarawan menjadi iri hati dan menuduhnya di hadapan Uskup Dunkeld sebagai bidat dan seorang yang mengajarkan rahasia Alkitab kepada jemaat dalam bahasa rakyat jelata, yang bisa dipahami mereka. Selain itu, ia tidak mengambil sapi dan kain halus yang dibawa rakyat untuk membayar atas khotbahnya dan itu akan membuat rakyat berpikir bahwa biarawan lain harus melakukan hal yang sama. 

Uskup memanggil Thomas Ferret untuk diperiksa. Saat pemeriksaan Uskup memberi tahu bahwa ia harus menerima sapi dan kain itu sebab biayanya terlalu tinggi untuk berkhotbah setiap hari Minggu tanpa dibayar, dan jika ia tidak mau menerima sapi dan kain itu, orang-orang akan menaruh syak terhadap pengurus gereja. Selain itu, ia seharusnya berkhotbah dari surat kiriman yang baik dan Injil yang baik yang mengungkapkan kebebasan induk gereja yang kudus. 

Dean Ferret berkata bahwa khotbah pada hari Minggu saja tidak cukup, tetapi ia akan menerima sapi dan kain dari jemaatnya yang miskin, dan segala sesuatu yang akan diberikan oleh mereka, dan sebagai ganti ia akan memberikan segala sesuatu yang ia miliki kepada mereka; dan demikianlah ia dan Uskup mencapai kesepakatan dalam hal itu. Selain itu, jika Uskup bisa menunjukkan kepadanya mana surat kiriman yang baik dan Injil yang baik, dan mana surat kiriman yang jahat dan Injil yang jahat, ia akan mengkhotbahkan yang baik dan menyingkirkan yang jahat. 

Mendengar itu Uskup berkata dengan marah, “Saya bersyukur kepada Allah bahwa saya tidak pernah tahu seperti apakah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru itu. Saya tidak mau tahu yang lain selain buku kebaktian saya dan pontifikal saya. Pergilah sana dan singkirkan segala khayalanmu sebab jika kamu terus memegang pendapatmu yang salah, kamu akan menyesal dan mereka tidak akan bisa mengubah dampaknya.”

Ferret menjawab, “Saya yakin yang saya lakukan benar di hadapan Allah dan karena itu saya tidak khawatir dengan konsekuensinya.” Kemudian ia pergi.

Tidak lama sesudahnya, Kardinal St. Andrews dan Uskup Dunkeld memanggil Dean Thomas Forret, biarawan Keillor dan Beveridge, imam bernama Duncan Simpson, orang awam bernama Robert Forrester dan beberapa orang lain. Pada saat kemunculan mereka di depan sidang uskup, mereka semua dituduh sebagai bidat dan tidak diberi kesempatan untuk membela diri atau menyangkal jika mereka menghendaki sebab mereka dituduh sebagai bidat utama dan guru-guru bidat. Se1ain itu, hal inilah yang dianggap memberatkan kasus mereka -kebanyakan mereka menghadiri pernikahan imam, pastor Tulibothy di samping Stirling dan makan makanan (yang dinyatakan sebagai angsa) di Lent di pesta pernikahan itu. Jadi, mereka semua dibawa ke Castle Hill di Edinburgh dan dibakar hidup-hidup.

Pada tahun 1543, George Wishart, reformator agama dari Skotlandia, yang mempertobatkan John Knox ketika Knox masih menjadi imam Gereja Roma, mengajar di Universitas Cambridge. Ia memiliki postur tinggi, berpakaian sederhana, murah hati kepada orang miskin dan ketat terhadap diri sendiri, yang senang mengajar, dan mengasihi Allah melampaui segala sesuatu. Ia hanya makan dua kali sehari, berpuasa satu kali setiap empat hari, tidur di atas tikar jerami dan seprai kain terpal baru yang kasar, yang ia berikan kepada orang lain ketika ia menggantinya. Oleh karena ia sangat serius dalam mengajarkan Alkitab, beberapa orang berpikir bahwa ia seorang yang keras, bahkan beberapa orang tidak suka terhadap hal yang ia ajarkan sehingga berusaha membunuhnya. Namun Tuhan membelanya, dan biasanya setelah ia bercakap-cakap dengan mereka tentang kebencian mereka dan menasihati mereka untuk memilih jalan yang lebih baik, mereka merasa senang kepadanya dan dengan diri mereka sendiri. Namun, ada sekelompok orang yang tidak senang dengannya, yaitu para pejabat gereja dan mereka segera mencari jalan untuk menyingkirkannya. 

Pada 1544, Wishart semakin besar keinginannya untuk memberitakan Injil yang benar di negaranya sendiri, jadi ia meninggalkan Cambridge dan kembali ke Skotlandia. Di sana ia pertama-tama menyampaikan khotbahnya di Firth of Tay. Di situ ia mengajar tentang arti surat Paulus kepada jemaat di Roma dan pembenaran oleh iman seperti ditemukan kembali oleh Martin Luther sekitar 30 sebe1umnya. Dan ia melakukannya dengan keanggunan serta kebebasan yang sedemikian rupa sehingga para pengikut paus merasa khawatir. 

Selama dua tahun berikutnya Wishart menempuh perjalanan ke seluruh Skotlandia serta hampir kehilangan nyawanya beberapa kali karena para pejabat gereja berusaha membungkamnya. Suatu kali ketika ia berada di Skotlandia barat ia mendengar bahwa di Dundee telah terjadi bencana serta ia segera bergegas ke sana untuk melayani orang yang sakit tubuh serta jiwanya. Ia tentu saja diterima dengan sukacita. 

Sebelum ia meninggalkan Dundee untuk kembali ke Montrose, seorang imam Roma bernama John Weighton dihasut oleh David Beaton, Uskup Agung serta Kardinal Skotlandia agar membunuhnya. Menurut cerita, Weighton menyembunyikan belati di bawah bajunya serta menunggu Wishart di bagian bawah tangga mimbar ketika ia turun sete1ah selesai berkhotbah tentang kesembuhan jiwa serta tubuh. Namun, Wishart melihat imam itu telah menantikannya dengan tang an dalam jubahnya dan berkata kepadanya, “Sobatku, apa yang kamu inginkan?” sembari memegang belati itu dan merebutnya dari imam itu ketika ia berusaha menariknya dari jubahnya. Imam yang sekarang ketakutan itu berlutut serta mengakui maksudnya dan memohon pengampunan Wishart. Beberapa orang sakit yang tidur di luar pagar yang memisahkan mereka dari orang-orang yang sehat, melihat dan mendengar hal yang terjadi serta meminta agar pengkhianat itu diserahkan kepada mereka. Dalam kemarahan mereka, mereka menerobos pagar dan akan membawa imam itu, tetapi Wishart memegang tangan imam itu dan berkata, “Siapa pun yang melukainya berarti melukai aku sebab ia belum melukai aku, sebaliknya ia melakukan banyak kebaikan kepadaku dengan mengajar agar aku lebih berhati-hati pada masa yang akan datang.” Dengan tindakannya itu ia menenangkan orang-orang dan menyelamatkan nyawa imam yang jahat yang mencoba membunuhnya itu. 

Segera setelah Wishart kembali ke Montrose, Kardinal Beaton mendapat surat palsu yang dikirimkan kepadanya seolah-olah dari ternan yang sudah ia kenal baik yang memiliki tanah dan harta milik Kennier dan meminta kepadanya untuk segera datang karena ia sedang sakit parah. Sepanjang jalan menuju tempat itu, yang berjarak 0,8 km dari Montrose, Beaton menyembunyikan 60 orang bersenjata untuk membunuh Wishart. Namun, ketika Wishart dan beberapa ternan dekatnya mendekati wilayah itu, ia tiba-tiba mendapat firasat bahwa ada hal yang tidak enak dan sebaiknya ia tidak melanjutkan perjalanan. Kepada teman-temannya ia berkata, “Allah melarangku untuk meneruskan perjalanan ini, Ada pengkhianat di depan. Beberapa orang darimu tolong meneruskan perjalanan dengan hati-hati dan tolong beri tahu aku hal yang kamu temukan.” Ketika mereka menemukan penyergapan yang dirancang kardinal itu, mereka segera kembali dengan cepat kepada Wishart dan mengabarkannya. Wishart berkata, ‘‘Aku tahu hidupku akan berakhir di tangan orang-orang yang haus darah itu, tetapi tidak dengan cara disergap tiba-tiba.”

Tidak lama sesudahnya, pada 1546, Kardinal Beaton diberi tahu bahwa Wishart tinggal bersama Mr. Cockburn dari Ormiston, di Lothian Timur di Skotlandia Selatan dan meminta kepada gubernur di wilayah itu untuk membawa Wishart ke dalam tahanan. Gubernur melakukannya meskipun bertentangan dengan kemauannya. Kemudian Wishart dibawa ke Edinburgh dan dipenjarakan di puri St. Andrews.

Dari sana, ia keesokan harinya dipanggil untuk muncul di hadapan Kardinal St. Andrews dan sidang uskup dengan tuduhan mengajarkan doktrin bidat yang menghasut. Keesokan harinya, kardinal memerintahkan seratus orang pelayannya berpakaian perang seolah-olah mereka sedang mempersiapkan diri menghadapi perang, bukan mengiringi seorang yang sedang diperiksa karena memberitakan firman Allah yang benar. Dari St. Andrews mereka membawa George Wishart ke Gereja Abbey dengan barisan perang karena takut orang-orang yang mengagumi dan mengasihi Wishart akan berusaha merebutnya dari mereka, atau mungkin ia akan berusaha me lepaskan diri, tetapi ia mengikuti mereka dengan sukarela ke biara gereja. Di pintu ia berhenti sebentar untuk melemparkan dompetnya kepada orang miskin yang sakit yang terbaring di tangga.

Ketika ia masuk ke dalam gereja dan berdiri di depan kardinal, wakil kepala biara Abbey, yang bernama Dane John Winryme, pergi ke mimbar dan menyampaikan khotbah tentang bidat. Ketika ia selesai, imam yang diberi makan cukup, yang bernama John Lander membaca gulungan yang panjang berisi 18 tuduhan bidat terhadap Wishart. Tuduhan itu dipenuhi kutukan, penghujatan, dan ancaman, yang dibawa Lander dengan kemarahan yang makin meningkat sampai keringat bercucuran turun di wajahnya dan mulutnya berbusa saat memuntahkan kata-katanya. Ketika ia selesai, ia berteriak pada Wishart, ‘‘Apa jawabanmu terhadap tuduhan ini, hai kamu pembelot, kamu pengkhianat, kamu pencuri! Kami telah membuktikan dengan saksi yang cukup menentang kamu!” 

Wishart pertama berlutut dan berdoa kemudian dengan lembut, dan dengan sikap seperti Kristus, berkata, “Yang benar hanyalah bahwa kamu yang menghakimi aku harus mengetahui apakah kata-kata dan doktrinku yang sebenarnya serta hal yang aku ajarkan sehingga aku tidak mati dengan tidak adil dengan menimbulkan risiko yang besar bagi jiwamu. Oleh karena itu, bagi kemuliaan dan kehormatan Allah, bagi kesejahteraanmu sendiri dan untuk perlindungan hidupku, aku dengan sungguh-sungguh memohon kamu para hakim untuk mendengarkan aku, dan aku akan memberitahukan doktrinku tanpa mengubahnya.” 

Mendengar itu, imam yang memberikan tuduhan, Lander, berteriak, “Kamu bidat, pembelot, pengkhianat, dan pencuri! Kamu tidak berhak untuk berkhotbah. Kamu telah mengambil otoritas ke dalam tanganmu sendiri tanpa otoritas dari gereja.” 

Wishart menyadari hal yang ingin mereka lakukan dan membuat beberapa permohonan, tetapi tidak ada gunanya. Mereka memandang ia bersalah sebagai bidat berdasarkan 18 tuduhan itu semuanya dan memutuskan untuk menghukum mati ia dengan menggantung dan membakarnya.

Pada pagi hari eksekusinya, kardinal mengutus dua biarawan kepadanya di penjara. Mereka mengenakan jubah lenan hitam padanya dan mengikat beberapa kantong bub uk mesiu di berbagai bagian tubuhnya. Kemudian mereka mengikat tangannya ke belakang punggungnya, memasang rantai besi di sekeliling pinggangnya dan membawanya ke tiang dengan tali di sekeliling lehernya. Untuk mencegah ternan dan pengagum Wishart yang banyak agar tidak menghalangi eksekusi itu, Kardinal Beaton menyuruh para penembaknya berdiri siap dengan senapan mereka sampai Wishart dibakar dan mati. Dalam perjalanan ke tiang satu biarawan itu berkata kepadanya, “Master George, berdoalah kepada Bunda kita, supaya ia mau menjadi perantara bagimu dengan anaknya.” Wishart menjawab, “Berhentilah berbicara! Jangan mencobai aku, saudara-saudaraku. Api ini sudah cukup mencobai aku."

Di tiang itu ia berlutut dan tiga kali berdoa, “Oh Juruselamat dunia, kasihanilah aku. Bapa surgawi, aku menyerahkan rohku ke dalam tangan-Mu yang kudus.” Kemudian ia berdoa untuk para penuduhnya dengan berkata, “Aku memohon kepada-Mu, oh Bapa di surga, ampuni mereka yang telah berbohong terhadap aku. Aku mengampuni mereka dengan sepenuh hatiku. Aku memohon kepada Kristus untuk mengampuni mereka yang tanpa memiliki pengetahuan telah menghukum aku.” Kemudian ia berpaling kepada orang-orang yang berkumpul di sana dan berkata, “Demi firman dan Injil yang sejati, yang diberikan kepadaku oleh kasih karunia Allah, aku menderita pada hari ini di tangan manusia; bukan dengan dukacita, tetapi dengan hati yang gembira. Sebab untuk inilah aku diutus, supaya aku menderita dalam nyala api ini demi Kristus. Pandanglah wajahku dari dekat. Kamu tidak akan melihat aku berubah warna sebab aku tidak takut terhadap api yang seram ini. Aku tahu dengan pasti bahwa jiwaku akan makan bersama Kristus juruselamatku malam ini."

Ketika mendengarnya, orang yang menggantung Wishart berlutut di depannya dan berkata, “Tuan, tolong ampuni aku sebab aku tidak bersalah dengan kematianmu.” Wishart menjawab, “Datanglah kepadaku.” Ketika ia melakukannya, Wishart mencium pipinya dan berkata, “Ini adalah bukti bahwa aku mengampuni kamu, orang yang kukasihi. Lakukan pekerjaanmu.” 

Kemudian Wishart digantung di tiang gantungan di atas api sampai tubuhnya terbakar menjadi abu. Ketika orang-orang melihat penyiksaan yang luar biasa ini, mereka tidak bisa menahan cucuran air mata mereka untuknya dan menuduh pendukung paus telah membantai anak domba yang tidak bersalah. Segera setelah itu, orang banyak yang marah membunuh kardinal dan menguasai istananya. John Knox bergabung dengan garnisun istana dan mulai mengajarkan Injil. Knox segera menjadi pengkhotbah yang menuntun pada revolusi. Tahun berikutnya, pada bulan Juli 1547, Gereja Roma merebut kembali istana itu dengan bantuan pasukan Prancis dan para pembela dijadikan budak di dapur Prancis. Pada bulan Februari 1549 Knox dilepaskan dan untuk sementara ia berkhotbah di Inggris dan Jerman. Belakangan ia menjadi pendeta jemaat orang Inggris diJeriewa, Swiss; dan di sana ia menjadi murid John Calvin, teolog Swiss kelahiran Prancis, yang telah menjadikan Jenewa sebagai “kota Allah.” Setelah ia kembali ke Skotlandia, Knox mendirikan paham Presbiterian di negara itu.

Martir terakhir yang mati di Skotlandia adalah Walter Mill [atau Milne] yang berusia 82 tahun pada tahun 1558. Pada mas a mudanya, Mill telah menjadi pendukung paus, terutama untuk beberapa saat menjadi imam jemaat di Gereja Lunan di Angus. Pada satu di antara masa dalam hidupnya, ia pergi ke Jerman; dan di sana mendengar Injil yang benar. Ketika ia kembali ke Skotlandia, ia menyingkirkan segala sesuatu yang berkaitan dengan Gereja Roma dan mulai mengajarkan doktrin Reformasi; dan meskipun sudah cukup tua, ia menikah. Uskup Skotlandia segera mulai mencurigainya sebagai bidat. Oleh karena menyadari bahwa ia akan dibawa ke penjara dan dituduh, Mill meninggalkan gerejanya dan menyembunyikan dirinya di negara ini untuk sementara. Belakangan ratu mengizinkannya untuk kembali ke sidang jemaatnya dan berkhotbah. Meskipun demikian, tidak lama kemudian ia ditahan oleh dua imam dan dibawa ke puri St. Andrews di Edinburgh. 

Pertama Mill diancam dengan siksaan dan hukuman bakar, tetapi ketika hal ini tidak meyakinkannya untuk menyangkal keyakinan dan ajaran Reformasi, ia ditawari posisi sebagai rahib dan jaminan keamanan seumur hidup di Abbey of Dunfermline jika ia mau menyangkal semua hal yang telah ia ajarkan dan setuju bahwa mereka adalah bidat. Namun, ia tetap mempertahankan kebenaran Injil meskipun diancam dan diiming-imingi dengan janji-janji. 

Kemudian ia dibawa ke gereja St. Andrews dan ditempatkan ke mimbar untuk dituduh di depan Uskup. Oleh karena usianya yang sudah tua dan perlakuan yang ia alami di penjara, Mill tidak mampu naik ke kursi mimbar tanpa dibantu. Para Uskup berpikir bahwa ia terlalu lemah untuk berbicara cukup keras supaya mereka bisa mendengarnya. N amun ketika ia berbicara, suaranya menggelegar dengan keberanian dan keyakinan sedemikian rupa sehingga orang-orang Kristen yang hadir bersukacita sementara musuh-musuhnya bingung dan malu. Mill berlutut di mimbar dan berdoa sangat lama sehingga Andrew Oliphant, yang telah menjadi imam sejak masa Kardinal Beaton, berkata kepadanya, “Tuan Walter Mill, bangun, dan beri jawaban untuk tuduhan yang diberikan kepadamu; kamu menahan tuan-tuan saya terlalu lama di sini.” Setelah ia selesai berdoa, Walter berkata, “Kamu memanggil aku ‘Tuan Walter,’ panggillah aku ‘Walter’, jangan ‘Tuan Walter.’ Aku telah menjadi ksatria paus terlalu lama. Sekarang katakanlah hal yang mau kamu katakan.”

Pemeriksaan berlangsung sesuai rencana, dan pada akhirnya Andrew Oliphant bertanya kepada Mill apakah ia mau menyangkal pendapatnya yang salah. Ia menjawab, ‘‘Aku lebih senang kehilangan 10 ribu nyawa daripada menyerahkan satu butir prinsip surgawi yang aku terima dari penderitaan Penebusku yang mulia.” Kemudian Oliphant mengumumkan hukuman baginya dan ia dikirim kembali ke penjara untuk dieksekusi keesokan harinya.

Ketika ia dibawa ke tempat eksekusi, Walter Mill menyatakan sentimen keagamaannya begitu kuat, dan dengan ketajaman pikiran untuk orang seusianya serta dalam kondisi selemah itu, ia membuat semua orang termasuk musuh-musuhnya terheran-heran. Setelah berdoa, ia berkata kepada semua, “Teman-temanku, alasan mengapa aku harus menderita hari ini bukan karena aku melakukan kejahatan apa pun meskipun aku memandang diriku sendiri sebagai orang yang berdosa paling besar di hadapan Allah, tetapi karena pembelaan atas iman kepada Yesus Kristus seperti disampaikan Perjanjian Lama dan Baru kepada kita. Oleh iman itulah banyak martir yang saleh sebelumnya telah menyerahkan diri mereka dengan gembira karena mendapat jaminan kebahagiaan yang kekal. Jadi, hari ini aku memuji Allah karena Dia te1ah memanggilku untuk berada di antara hamba-hamba-Nya dan memeteraikan kebenaran-Nya, yang telah aku terima dari Dia dalam hidupku dan dengan sukarela menyerahkan itu kembali kepadaNya untuk kemuliaan-Nya.”

“Oleh karena itu, jika kamu ingin terlepas dari kematian kedua, jangan mau dibujuk oleh ajaran imam-imam, rahib, biarawan, kepala biara, pengurus biara, Uskup, dan orang lainnya. Bergantunglah hanya dengan Yesus Kristus dan kemurahan-Nya sehingga kamu akan dilepaskan dari hukuman dan menerima hidup yang kekal.” Sementara ia berbicara di sana banyak orang menangis dan meratap dengan keras sebab mereka tersentuh melihat keberanian dan keyakinannya, keteguhan imannya, dan kata-katanya yang mengobarkan hati mereka. 

Walter Mill kemudian diangkat di tiang hukuman dan kayu api mulai dinyalakan. Ketika api itu mulai membakarnya, ia berseru dengan keras, “Tuhan, kasihanilah aku! Saudara-saudara, berdoalah sementara masih ada waktu!” Dan kemudian ia meninggalkan dunia untuk tinggal bersama Tuhannya, yang untuk- Nya ia bersedia mati. 

Ketika Reformasi muncul sepenuhnya di Skotlandia pada 1560, dan Parlemen Skotlandia meneguhkan presbiterianisme sebagai agama nasional, banyak patung yang mahal di Gereja Roma dibakar di tempat Walter Mill menjadi martir

0 comments:

Post a Comment

Total Pageviews

Praditya. Powered by Blogger.

Translate

Search